Wednesday, March 30, 2011

Buletin Al Fatah

Buletin Al Fatah Vol.1 No.1 Agustus 2009
















Buletin Al Fatah Vol.1 No.2 Desember 2009















Buletin Al Fatah Vol.2 No.1 Agustus 2010














Buletin Al Fatah Vol.2 No.2 Desember 2010

Sunday, March 27, 2011

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU DESTRUKTIF MANUSIA DENGAN TERJADINYA BENCANA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN


Abstraksi:

Tujuan tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai hubungan antara perilaku destruktif manusia dengan terjadinya bencana menurut pandangan Al-Qur’an. Metode yang digunakan adalah metode tafsir. Menurut Al-Hafiz al-Suyuthi dan al-Zarkasy, tafsir adalah ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya. Karya tulis ini menawarkan perspektif bahwa bencana disebabkan oleh ulah perbuatan manusia yang destruktif (merusak). Perilaku destruktif itu meliputi perusakan alam, perbuatan dosa dan maksiat, kezaliman, kefasikan, dan kekufuran baik dilakukan secara individu maupun sosial. Studi ini menunjukkan bahwa perilaku destruktif manusia dapat memberikan pengaruh negatif terhadap alam dan manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meminimalisir terjadinya bencana, maka manusia hendaknya menghindari perilaku destruktif itu. Al-Qur’an menjelaskan bahwa selain memiliki sisi konstruktif dan positif, manusia juga memiliki sisi destruktif dan negatif . Sisi destruktif dan negatif itulah yang menyebabkan terjadinya bencana. Dengan diakuinya sisi destruktif manusia yang dapat menyebabkan terjadinya bencana, maka tulisan ini dapat membantah kepercayaan bahwa bencana semata-mata disebabkan oleh azab Tuhan dan tanpa ada sebabnya. Makalah ini mengakui bahwa Tuhan tidak akan menurunkan azab tanpa didahului oleh perbuatan destruktif manusia. Karya tulis ini menawarkan sebuah perspektif tentang bagaimana kejahatan manusia dapat menyebabkan terjadinya bencana alam dan siksa Tuhan sekaligus memberikan harapan (ekpektasi) bahwa bencana bisa diminimalisir bahkan dicegah bila manusia menghindari perbuatan destruktif.


Kata kunci: Al-Qur’an, Perilaku Destruktif, Bencana, Azab


Pendahuluan

Akhir-akhir ini berbagai bencana sering melanda bangsa kita. Bencana itu datang silih-berganti: tsunami di Aceh, banjir bandang di Wasior Papua; tsunami lagi di Mentawai; dan letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Belum lagi bencana-bencana yang lain seperti gempa, banjir, longsor, lumpur Lapindo, tabrakan kereta api, jatuhnya pesawat dan seribu satu bencana lainnya. Sungguh negeri ini tak lepas dirundung malang, harta dan nyawapun tak sedikit melayang. Tak aneh bila ada orang yang menyebut negeri ini sebagai negeri “1001 bencana”. Walaupun sesungguhnya bencana tidak saja melanda negeri kita, negeri-negeri lainpun tak lepas dari bencana.

Bencana yang terjadipun sering dikaitkan dengan berbagai kepercayaan bahkan mitos. Dalam masyarakat primitif bencana sering dikaitkan dengan kemarahan para dewa; bencana karena melanggar tabu atau karena manusia tidak memberi persembahan (sesaji) pada leluhur. Kaum beragama bahkan penganut agama modern seperti Yahudi, Kristen dan Islam mengaitkan terjadinya bencana dengan murka atau azab Tuhan. Bagi mereka yang agnostik (tidak percaya Tuhan), mengatakan bahwa bencana hanya proses dan kejadian atau fenomena alam belaka. Dalam teks-teks keagamaan dan kepercayaan orang-orang beragama disebutkan pula bahwa Tuhan tidak serta merta mendatangkan bencana tanpa sebab musababnya. Bencana terjadi senantiasa disebabkan oleh perilaku destruktif manusia seperti keingkaran kepada seruan Tuhan, perbuatan dosa, kefasikan dan kezaliman. Di kalangan umat Islam pun ada berbagai perspektif mengenai bencana: sebagian berpendapat bahwa bencana hanya fenomena alam; sebagian orang berpandangan bahwa bencana semata-mata merupakan kehendak Tuhan; sebagian lagi berpandangan bahwa perilaku manusialah yang menjadi penyebab bencana. Karena itu dalam artikel ini akan dikaji mengenai hubungan antara perilaku destruktif manusia dengan terjadinya bencana menurut perspektif Al-Qur’an.

Metodologi yang digunakan adalah metode tafsir. Ada beberapa jenis metode tafsir, pertama metode tafsir bi al-riwayah. Metode ini menggunakan ayat Al-Qur'an untuk menafsirkan ayat Qur'an yang lain. Atau dalam ungkapan bahasa arab disebut "Al-Qur'an yufassiruhu ba'dhuhu ba'dhan" (Al-Qur'an itu menafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain). Kedua, metode al-tahlili (analisis), yaitu dengan cara menguraikan ayat Al-Qur’an menurut urutan surat dalam al-Qur'an. Semua kitab tafsir klasik mengikuti model ini. Ketiga. metode tafsir maudhu'i (tematis), yaitu dengan cara memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Misalnya, kita ingin tahu masalah bencana dalam Al-Qur’an. Maka kita himpun semua ayat yang berisikan kata bencana (dan segala derivasinya) lalu kita tafsirkan. Jadi, tafsir model ini bersifat tematis. Konon metode seperti ini dimulai oleh Muhammad al-Biqa'i dan Muhammad Baqir al-Shadr. Sedangkan di Indonesia Profesor Quraish Shihab yang pertama kali memperkenalkannya. Selain metode di atas digunakan pula metode tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode yang menitikberatkan pada pemahaman akal (ra'yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal. Contoh tafsir model ini adalah Tafsir al-Kasysyaf karya Zamakhsyari, tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakh ar-Razi, Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dan sebagainya. Metode tafsir ini dibagi lagi menjadi tafsir bi al-'ilmi (seperti menafsirkan fenemona alam dengan kemudian merujuk ayat Qur'an); tafsir falsafi (menggunakan pisau filsafat untuk membedah ayat Qur'an); dan tafsir sastra yang lebih menekankan aspek sastra dari ayat al-Qur'an. Model tafsir ini pada masa sekarang dikembangkan oleh Aisyah Bintusy Syathi. Di samping beberapa metode tafsir di atas bisa juga digunakan metode ijmali, yaitu usaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Selain metode di atas dapat pula digunakan metode tarikhi (hsitoris) yang merupakan salah satu metode yang dipakai dalam penelitian agama (Taufiq Abdulllah & M. Rusli Karim (ed.), 1989). Dengan menggunakan metode tarikhi kita dapat menggali sejarah terjadinya bencana yang pernah menimpa umat manusia pada masa yang lampau. Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah adalah salah seorang sarjana Islam brilian yang menggunakan metode tarikhi ketika membahas kejayaan dan kejatuhan (bencana) yang menimpa kerajaan-kerajaan Islam.

Berbagai metode tafsir di atas dapat digunakan untuk menafsirkan dan memahami Al-Qur’an karena sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh Abdullah Darraz dalam kitabnya al-Naba al-‘Adhim, "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja anda berikan kesempatan pada rekan anda untuk melihat kandungan ayat Qur'an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat."

Dalam pembahasan makalah ini, penulis menggunakan metode-metode yang berkaitan dengan tema tersebut tidak terpisah-pisah (parsial), melainkan secara terpadu. Dengan kata lain, ketika membahas mengenai bencana menurut perspektif Al-Qur’an, penulis tidak menyebutkan secara khusus metode-metode di atas sehingga pembaca diharapkan dapat menelaah sendiri jenis metode yang digunakan penulis ketika membahas tema ini. Metode yang penulis gunakan dengan tidak menyebut secara khusus metode apa ketika membahas suatu ayat merujuk kepada metode Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Tafsir al-Azhar karya profesor Hamka.

Adapun sumber yang digunakan adalah Kitab Al-Qur’an, Al-Qur’an dan terjemahannya baik terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, kitab-kitab tafsir karya para ulama serta sumber-sumber lain yang relevan dengan tema yang dibahas.

Perilaku Destruktif Manusia dan terjadinya Bencana

Yang dimaksud perilaku dalam bahasa Inggris behavior adalah respon atau reaksi yang dilakukan oleh makhluk hidup dalam situasi tertentu. Definisi lain perilaku adalah cara bertindak seseorang terhadap orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007), perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Adapun kata destruktif dari bahasa Inggris destructive” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut Kartini (1992:2), perilaku destruktif merupakan tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok. melanggar norma dan adat istiadat. atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum atau penyimpangan tingkah laku atau perilaku destruktif atau patologis. Hal senada dikemukakan Sumadi Suryabrata (1998) memandang Perilaku destruktif merupakan tingkah laku atau reaksi organisme sebagat keseluruhan terhadap perangsang dari luar yang menyimpang. Reaksi tersebut terdiri dari gerakan-gerakan dan perubahan jasmani tertentu, Jadi dapat diamati secara obyektif. Penyebab terjadinya perilaku destruksi antara lain karena tradisi, sikap hidup, emosi, kebiasaan dan filsafat hidup.

Menurut Hamid Abdul Khalik Hamid perilaku destruktif adalah tindakan melanggar norma yang dilatarbelakangi oleh faktor—faktor emosi yang terpendam, seperti prasaan minder atau benci terhadap pengekangan. Dengan demikian, maka tindakan destruktif ini merupakan gejala timbulnya rasa ingin balas dendam, atau ingin membuktikan eksistensi dirinya.

Menurut Ali Qaimi perilaku destruktif ditampakkan lewat perilaku dan sikap kasar, menentang, tidak suka, menolak, serta membantah keinginan tertentu. Manusia yang memiliki perilaku destruktif ini adalah orang yang cenderung meraih kebebasan absolut dan menolak berbagai aturan dan tatanan yang ada, terbiasa melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan norma-norma sosial, egois dan degil, sehingga tidak mempedulikan dan mengindahkan aturan serta norma yang ada.

Yang dimaksud perilaku destruktif di sini adalah melakukan perbuatan jahat baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam, ingkar terhadap aturan hukum dan norma baik norma agama maupun norma sosial, berbuat dosa baik secara individu maupun kolektif, ingkar pada kebenaran, melakukan tindakan fasik dan kezaliman. Menurut Tosihiko Izutsu dalam Konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an yang termasuk perilaku destruktif adalah kufur (ingkar terhadap kebenaran dan terhadap nikmat Tuhan), fasik (durhaka) dan zalim. Salah satu perilaku destruktif menurut Izutsu adalah zalim. Dalam bahasa Inggris “zalim” biasanya diartikan dengan injustice atau ketidakadilan. Dalam al-Qur’an kata ”zalim” dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 315 kali. Ini menunjukkan bahwa kata ini merupakan salah satu konsep sentral dalam al-Qur’an. Toshihiko Izutsu, menyatakan bahwa merupakan varian dari sikap dan perilaku kufur atau ingkar. merupakan segi atau dimensi kekufuran. Kezaliman atau ketidakadilan juga menyangkut masalah hak, yaitu apakah seseorang memperoleh haknya atau tidak. Kezaliman terjadi bila hak-hak seseorang diingkari atau dilanggar. Kezaliman juga bermakna pelanggaran terhadap hukum, atau tindakan tanpa dasar. Hal inilah yang yang disebut dengan sikap dan perilaku yang sewenang-wenang, sikap dan perilaku yang tidak didasarkan nilai dan aturan. Zalim juga berarti kedustaan terhadap Allah adalah mengatakan dirinya beriman, padahal ingkar, mengatakan dirinya berbuat baik, tetapi sebenarnya berbuat jahat/salah. Mendustakan ayat-ayat Allah adalah menentang prinsip-prinsip kebajikan yang telah diajarkan agama. Keduanya adalah perbuatan yang pada esensinya berseberangan dengan prinsip keadilan, keduanya adalah kezaliman.

Senada dengan Izutsu adalah Muhammad Shahrur dalam al-Kitab wa al-Qur’an fi Qira’ah Muashirah yang menjelaskan bahwa sifat-sifat destruktif seperti kufur, dusta, zalim, fasik, merupakan kebalikan dari islam, iman dan ihsan. Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menyebut perilaku destruktif sebagai akhlak yang membinasakan (akhlaq muhlikat).

Adapun yang dimaksudkan dengan bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; dan bahaya. Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh proses alam atau ulah manusia yang dapat terjadi secara bertahap atau mendadak yang mengakibatkan kehilangan jiwa manusia, kerusakan dan kehilangan harta benda dan kerusakan lingkungan. Ada beberapa jenis bencana yang pernah terjadi di negara kita, antara lain; gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan dan kebakaran hutan, kebakaran, letusan gunung berapi, gelombang pasang, tsunami, wabah penyakit.

Dalam Al-Qur’an kata bencana menggunakan istilah “bala”. Secara bahasa, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Menurut Imam al-Razi dalam Mukhtashar al-Shihah (hlm. 65), istilah bala’ sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk. Syihab al-Din Ahmad dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an (juz 1, hlm. 85) menyatakan bahwa bala’ itu memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci). Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda; (Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs. Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan). Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut ini: “Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 49).

Adapun bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl [8]: 17). Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata bala’ pada ayat di atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berujud, pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan perang), dan al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal. 97).

Kata lain yang sering digunakan dalam kaitannya dengan bencana adalah kata “musibah”. Kata ini bermakna al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535). Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431). Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas ijinNya. Allah SWT berfirman: “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).

Selain dua istilah di atas digunakan juga kata ‘azab. Kata ini berarti al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia. Allah SWT berfirman:“Tak ada suatu negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58). Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada perintah Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165). Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman:“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir di antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25). Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48). Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, yakni: “Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akherat adzab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).

Al-Qur’an menjelaskan beberapa penyebab datangnya azab, yakni kemaksiyatan (perbuatan dosa),, kezaliman dan kefasikan (durhaka). Sebagaimana firman-Nya “Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman.” (Qs. al-Qashash [28]: 59). “maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (Qs. al-Ahqâf [46]: 35). “Kami telah membinasakan mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (Qs. ad-Dukhân [44]: 37). Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan kepada penduduk negeri yang melakukan kedzaliman, kemaksiyatan, dan kefasikan. Sementara itu tidak ada yang melakukan pencegahan terhadap perbuatan dosa, kezaliman dan kefasikan. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad].Selain Allah SWT dapat mendatangkan azab karena perilaku destruktif manusia, azab juga dapat dilakukan oleh manusia itu sendiri, misalnya terjadinya pembunuhan, teror, pengusiran, dan sebagainya. Teror atau penyiksaan yang dilakukan oleh penguasa yang zalim terhadap rakyatnya dapat menimbulkan siksaan dan penderitaan rakyat. Dalam sejarah Fir’aun pernah mengeluarkan maklumat untuk membunuh semua bayi laki-laki yang menimbulkan penderitaan kepada penduduk Mesir. Raja Nimrod yang membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup untuk menimbulkan terror kepada para penentang kekuasaannya.

Siksaan diberikan oleh Allah disebabkan karena kedurhakaan manusia dan mendustakaan ayat-ayat-Nya seperti siksaan yang menimpa kepada kaum Nabi Nuh, kaum Ad dan kaum Tsamud. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah SWT akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfudz). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami) , melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS. al-Isrâ’ [17]: 58-59).

Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir (juz 2, hlm. 165) mengatakan bahwa Allah SWT telah menetapkan, bahwa orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaanNya akan dimusnahkan Allah SWT. Tanda kebesaran Allah ini pernah diberikan kepada Rasul-rasul terdahulu; misalnya, unta betinanya Nabi Shaleh bagi kaum Tsamud. Sayangnya, kaum Tsamud mengingkari tanda kebesaran Allah ini. Akhirnya kaum Tsamud dimusnahkan dari muka bumi. Mayoritas ahli tafsir menyatakan, bahwa ayat ini berhubungan dengan permintaan orang-orang Quraisy kepada Nabi Saw agar beliau Saw menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai bukti kebenaran kenabian dan risalahnya. Akan tetapi, Allah SWT memberitahu Nabi Saw, bahwa jika Allah mengabulkan permintaan mereka, namun mereka tetap saja ingkar dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah tersebut, niscaya mereka akan dimusnahkan, sebagaimana kaum-kaum terdahulu.

Siksaan Allah juga ditimpakan kepada manusia disebabkan para pemimpin dan para pembesar yang durhaka dan zalim. Allah menegaskan “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. al-Isrâ’ [17]: 16).

Dalam Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (juz 2, hlm. 371), Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan: “Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiyat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan ‘adzab.”

Dalam ayat lain, Allah SWT telah menggambarkan bahwa terjadinya kerusakan di daratan dan lautan disebabkan perilaku destruktif manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. ar-Rûm [30]: 41).

Menurut Imam Baidhawi dalam tafsirnya yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik, al-jadb), kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan, akibat kemaksiyatan dan ulah perbuatan manusia. Sedangkan menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiyatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).

Al-Qur’an menjelaskan berbagai jenis bencana seperti banjir yang ditimpakan kepada umat Nabi Nuh; petir atau hawa panas yang menimpa bangsa ‘Ad, dan gempa bumi yang menimpa kaum Nabi Shaleh yaitu bangsa Tsamud. Mengenai bencana gempa Allah SWT. menegaskan, “lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (QS. Al A’raf [7]:78-91). Sejarah membuktikan terjadinya azab yang menimpa bangsa-bangsa terdahulu sebagaimana juga diterangkan dalam Perjanjian Lama. Dalam hal ini Al-Qur’an menyajikan penjelasan yang lebih otentik mengenai siksaan yang ditimpakan kepada manusia karena keingkaran, dosa dan kedurhakaan mereka. Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). Allah berfirman, “(Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?". Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Lut dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri." Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (Q.S. 8 : Al A’raaf :[7]: 80-84)

Firman Allah, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”(QS. Al-An’am [6] 44); “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi ; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang . Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS. Al-Hajj [22]:11); “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.( QS 57:4)

Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah , padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]:22); “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. 2:155); “Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. 16:1); “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram .Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu” (QS. 5:62); “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka dan telah mengolah bumi serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri” (QS. 30:9).

Firman Allah dalam QS. 40: 21-27, "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah. Yang demikian itu adalah karena telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata lalu mereka kafir; maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Keras hukuman-Nya. Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir'aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: "(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta." Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi Kami mereka berkata: "Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka." Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka). Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi."(26) Dan Musa berkata: "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab."

Selain dalam Al-Qur’an, hadits-hadits Rasulullah saw. menjelaskan bahwa terjadinya bencana didahului oleh perbuatan destruktif manusia. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hai orang-orang Muhajirin; lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Alloh agar kamu tidak mendapatkannya: “Tidaklah muncul perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khomr, judi, merampok dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezaliman pemerintah, kehidupan yang susah, dan paceklik. Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka”.

Oleh karena itu tidak disangsikan lagi bahwa bencana terjadi disebabkan oleh perbuatan manusia, Fenomena alam pun membuktikan demikian. Sesuai dengan hukum aksi-reaksi. Bila alam diperlakukan negatif dan destruktif, maka alam akan memberikan reaksi yang sama. Ketika manusia sudah tidak memperhatikan alam, seperti membangun perumahan di daerah-daerah tempat serapan air, sehingga akan menimbulkan terjadinya banjir. Demikian pula bila hutan-hutan, gunung dan bukit digunduli maka akan menimbulkan terjadinya banjir dan longsor. Terjadinya global warming (pemanasan global) juga disebabkan oleh ulah manusia yang semena-mena. Allah SWT. berfirman, “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.S. al-Syura [42]: 30)

Kesimpulan

Menurut ayat-ayat Al-Qur’an dan tafir-tafsirnya dapat disimpulkan bahwa: Semua azab, bencana dan musibah tidak lepas dari kehendak dan ketentuan Allah SWT. Namun kehendak dan ketentuan Allah untuk menimpakan azab dan bencana disebabkan oleh perilaku destruktif manusia itu sendiri. Perilaku destruktif tersebut antara lain perbuatan dosa, maksiat, kefasikan, kekufuran dan kezaliman. Karena itu, menurut Al-Qur’an, berbagai bencana bukablah murni sebagai proses, skenario, dan fenomena alam saja, melainkan tidak terlepas dari perilaku destruktif manusia yang tidak lepas pula dari great design Allah SWT. Karena itu untuk meminimalisir terjadinya bencana, manusia seharusnya menjauhi perilaku destruktif dan memperbanyak perilaku yang konstruktif sehingga ada harapan (ekspektasi ) bahwa Allah SWT. akan memberikan rahmat, keselamatan dan keberkahan kepada umat manusia sebagaimana firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka menolak (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al-A’raf [7]: 96–97).


Oleh : Yoyo Hambali, MA.

· Penulis adalah Dosen Unisma Bekasi dan Pegiat Pencerahan Masyarakat


Thursday, March 24, 2011

Islamic Green Life : MENYIKAPI BENCANA DAN MENEGAKKAN MARTABAT KEMANUSIAAN


Manusia diciptakan bukan hanya untuk mengabdi kepada Allah swt. menyongsong kehidupan ukhrawi, tetapi juga untuk memakmurkan bumi dengan menegakkan prinsip – prinsip dasar kemuliaan dan kehidupan yang bermartabat. Untuk menjalani fungsi – fungsi kehidupan, manusia diperlengkapi dengan akal dan hati serta dikaruniai ilmu pengetahuan, termasuk kemampuan untuk menimbang, menilai dan membedakan antara yang maslahat dan mudharat, baik dan buruk, juga peringkat kewajaran ataupun kemestian.

Diciptakan dengan orientasi pertumbuhan kualitas berjenjang dan berkesinambungan (ahsani taqwiem), diberikan petunjuk berupa Al Qur’anul Kariem dan dituntun dengan pengendalian fungsi kemanusiaan melalui rutinitas konsisten shalat 5 waktu dan dzikir aktual tanpa henti. Dihadirkan rasul sebagai utusan yang mengejawantahkan keteladanan yang paling baik (uswatun hasanah)। Oleh karena itu, dengan pertimbangan rasional dan iman, manusia tidak sepantasnya menghinakan dirinya dengan melakukan sejumlah perbuatan yang melanggar tatakrama keluhuran dan etika sosial. Apatah lagi dengan mengorganisir serangkaian kegiatan yang akan mengakibatkan perusakan sistematis atas norma kehidupan demi memuaskan diri dan kelompok hanya karena memegang otoritas tertentu atas nama orang banyak, bangsa dan negara.

Karakteristik dan Kategori Musibah

Sebuah fenomena yang amat mencengangkan. Jumlah ummat Islam bertambah terus dengan porsi yang selalu dominan. Bangunan masjid kian ramai, bahkan peminat ibadah haji terus membanjir samapi – sampai harus antri sampai 3 atau 4 tahun. Namun pada saat yang bersamaan, korupsi merajalela, ketidakadilan dipertontonkan, pasal – pasal aturan hukum diperjualbelikan, orang miskin ditelantarkan karena keserakahan pihak lain serta sejumlah pemangku amanah terjebak dalam pengkhianatan.

Dalam suasana yang sedemikian, musibah datang beruntun. Tidak sedikit orang kebingungan dalam memahami konteks peristiwa, apakah semata – mata dampak fenomena alam, ketegasan takdir Tuhan atau juga terkait dengan kelalaian dan pelanggaran manusia। Dalam Al Qur’an, musibah dijelaskan dengan 3(tiga) kategori, yakni: ujian, peringatan dan adzab.

Pertama, bagi orang yang beriman, pertumbuhan kualitas dirinya akan selalu diperhadapkan dengan ujian. Bahkan yang demikian merupakan keniscayaan yang telah dirancang oleh Allah swt. Berkenaan dengan itu, Allah swt. berfirman dalam QS. Al Ankabut/29 :2



“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”

Lebih dari itu, Al Qur’an menginformasikan bahwa peringkat dan bobot ujian yang dialamatkan bagi seseorang sebanding dengan peringkat kualitas keimanan yang akan diraihnya। Karena itu, orang – orang yang beriman ditantang dengan realitas dan fakta ujian yang dihadapi oleh nabi dan para sahabatnya di masa lalu, dalam QS. Al Baqarah/2 : 214, sbb:







“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”

Kedua, bagi orang yang telah menyimpang dari kebenaran, yang bukan hanya menyalahgunakan peran dan fungsi personal, tetapi juga merusak tatanan ekonomi, sosial dan lingkungan yang semestinya dikelola sebagai sarana dan prasarana penyejahteraan di muka bumi। Dampak perbuatan mereka sengaja ditimpakan oleh Allah swt. kepadanya sebagai ajang penyadaran dan strategi pemulihan visi-misi kehidupan. Dalam kaitan ini, QS. Ar Rum/30 : 41 mengatakan:




“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”

Ketiga, kehadiran musibah sebagai adzab , dinyatakan dalam Al-Qur’an, surah Al Anfal/8 :25




“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”.

Jadi, dengan maksud meningkatkan kualitas kehidupan dan keimanan seseorang, Allah akan selalu mengujinya denga ujian yang berjenjang. Hal ini diharapkan seiring dengan proses tumbuh kembang keimanan dan pencerahan spiritual yang mewarnai segenap aktivitasnya. Tapi, bagi mereka yang mulai melakukan penyimpangan diperingati dengan cara menimpakan sebagian dari apa yang merupakan dampak kesalahan mereka. Manakala hal ini tidak disadari di mana manusia tetap melanjutkan tindakan perusakan dan pelanggrannya, maka Allah pasti akan mendatangkan adzab-Nya.

Selain matarantai dan peringkat musibah yang diperkenalkan itu, QS. Al Anfaal :25 tadi menegaskan bahwa peran sosial perlu dikembangkan sebagai upaya untuk memelihara tatanan kehidupan semesta, sehingga tidak boleh terjadi pembiaran terhadap siapa pun yang melakukan pengabaian atas keadilan, kebenaran dan kemaslahatan umum atau hajat hidup orang banyak. Apalagi bagi mereka yang dengan sengaja merancang kejahatan sistematis dengan menyalahgunakan amanah kekuasaan.

Juga, kehadiran adzab itu bukan semata – mata karena peringatan diabaikan, melainkan juga karena manusia meninggalkan dengan terang – terangan sistem kehidupan yang telah dengan sungguh – sungguh dtawarkan oleh Allah swt. demi kebaikan manusia itu sendiri, yakni ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya dan menerapkan prinsip dan nilai-nilainya secara konsisten dalam segala sektor kehidupan. Dalam ayat sebelumnya ( QS. Al Anfaal/8 :24), dikatakan :








“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”.

Allah swt. dan Rasulullah saw.menyeru manusia kepada sesuatu yang menghidupkannya. Karena itu, bila manusia meresponnnya dengan sepenuh hati berarti mereka menyambut kehidupan yang sebenarnya, di mana diri dan hatinya selalu dipelihara dengan nuansa Ilahiyah. Namun, karena mengabaikannya, maka tidak sedikit di antara mereka yang justeru terjebak adzab, bahkan termasuk di antara mereka yang juga tetap beriman kepada Allah swt – hanya karena membiarkan penyalahgunaan aturan yang dipraktekkan oleh orang – orang zhalim.

Sebaliknya, konsistensi manusia pada keimanan bukan hanya akan membuat mereka terhindar dari bencana di alam semesta, tetapi bahkan juga akan mendapatkan manfaat yang berlipat ganda – berkah yang diberikan oleh Allah swt. dari berbagai sektor dengan segala potensi yang telah diciptakannya. Hal ini dungkapkan dalam QS. Al A’raf/7 :96 :



Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Hanya saja, beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. tidak hanya mewujudkan ritualitas berbasis ayat – ayat tanziliyah, tetapi juga perlu mengemas perilaku sosial keummatan dengan mengarifi ayat – ayat kauniyah. Misalnya, merawat saluran air (drainage) dengan membebaskannya dari sumbatan sampah, mengamankan daerah resapan air dengan tidak mendirikan banguan di atasnya, memelihara hutan dan lingkungan hidup pada umumnya, agar ekosistem terpelihara dan siklus aktivitas alamiah menjadi rahmat dan berkah dalam kehidupan sehari – hari.

Pengingkaran manusia atas aturan Allah swt. termanifestasi setelah mereka mengabaikan kemuliaan kemanusiaannya (ahsani taqwiem) dengan sistem kehidupan yang telah Allah swt tawarkan kepadanya, serta menceburkan diri ke dalam kehinaan hewaniyah – dan bahkan lebih hina lagi (asfala safiliin).

Kehidupan dan Ketaqwaan

Kehidupan dapat dilihat sebagai suatu realitas eksistensi, fenomena aktivitas atau bahkan proses menjadi (becoming process) untuk meraih kualifikasi tertentu. Sosok tubuh dengan struktur perawakan tertentu – produk metabolisme sel berupa akumulasi molekuler. Makhluk biologis yang memiliki kecerdasan - homo saphiens (al basyar), yang sekaligus diindikasikan oleh karakter pertumbuhannya yang membutuhkan konsumsi (baik material : makan – minum, maupun psiko-biologis). Atau makhluk bermartabat yang menjalani kehidupan dalam sebuah alur pencerahan, sehingga senantiasa bergelut dalam proses interaksi sebagai sebuah perjuangan yang mempertaruhkan nilai – nilai kemanusiaan (human values).

Memfungsikan kehidupan dapat dilakukan manakala setiap sosok manusia memahami eksistensinya secara individual. Dalam kaitan ini, Al Qur’an menjelaskan asal – usul, realitas, proses, orientasi dan peringkat tujuan (destinasi) kehadiran manusia sebagai bagian dari alam semesta. Misalnya, dalam QS.al Baqarah/2 :28, di mana manusia mengalami kematian dan kehidupan masing – masing 2(dua) kali, dengan kualifikasi dan peringkatnya yang berbeda.

Realitas kematian pertama, yakni ketika manusia masih merupakan akumulasi senyawa kimia – fisika, kumpulan mineral dari sari pati tanah ( baik manusia pertama yang diciptakan Allah swt. secara langsung, maupun manusia – manusia berikutnya, yang berupa sperma – dalam air mani). Makhluk biologis terbentuk setelah fertilisasi (pembuahan) dilakukan oleh spermatozoa (laki – laki) atas ovum (perempuan), yang menghasilkan zygote – yang kemudian mengalami metabolism sel. Sebuah perubahan telah terjadi, manusia beranjak dari makhluk material ke makhluk biologis – dengan dimilikinya potensi kesiapan untuk menjalani kehidupan pribadi dan sosial.

Kehidupan pertama terjadi ketika Allah swt. meniupkan ruh-Nya kepada zygote yang bermetabolisme itu dengan perlakuan Ilahiyah : “Fa ahyaakum” (maka kemudian Allah swt. menghidupkanmu). Di sini terjadi perubahan peringkat dari makhluk biologis ke makhluk spiritual – dengan adanya kesiapan mengemban amanah Ilahi dalam jagat kemanusiaan menuju hari kemudian. Amanah yang dimaksud ini dapat dipahami dalam QS. Al A’raf/7 :172 (mengakui dan menerima Otoritas Allah swt. sebagai Rabb – dengan mengacu pada Kitab-Nya) dan QS. Al Ahzab/33 :72 (kemestian potensial makhluk satu – satunya yang siap dan mampu mengemban amanah Ilahi, yang bila diabaikan akan membuka ruang bagi praktek kezhaliman atas dasar kebodohan).

Selaku makhluk biologis (al basyar) dan sekaligus makhluk spiritual (al insan), manusia diberikan peluang untuk menjalani kehidupan di muka bumi – dunia (alam syahadah), yang tiada lain sebagai media pengabdian kepada Allah swt. untuk menapaki kesmepurnaan nilai – nilai kemanusiannya (dengan selalu mengintensifkan penyerapan asma – asma Allah swt dan segenap sifat-Nya) – dalam orientasi Al Insan Al Kamil.

Kematian kedua dialami oleh manusia ketika jatah waktu (umur) untuk menjalani kehidupan kedua telah selesai (meninggal dunia), yang berlangsung dalam alam barzakh (penantian, transisi, kubur). Kemudian manusia memasuki episode kehidupan kedua setelah mengalami kebangkitan (al Ba’ats) – yang lalu berkumpul ( al Hasyr) di tempat yang ditentukan (Mahsyar) dan mengikuti prosesi evaluasi (Hisab) kehidupan dunia – dalam rangka kembali kepada Allah swt. (tsumma Ilaihi turja’uwn).

Dengan menyimak kandungan informasi QS. Al Baqarah/2 :28 tersebut, sangat mudah dipahami bahwa kehidupan manusia yang sesungguhnya adalah kehidupan kedua dengan proses kualifikasi dan realitas kualitas sebagaimana kondisi ketika “kembali kepada Allah swt.” (apakah layak masuk surga atau neraka). Namun kualitas akhir yang dimiliki pada kehidupan kedua tersebut adalah hasil evaluasi atas kehidupan dunia sebagai bagian dari kehidupan pertama.

Kehidupan dunia yang benar adalah kehidupan yang dijalankan sebagai manifestasi amanah Ilahi dan pemeliharaan atas ruh-Nya – dua hal yang Allah swt. berikan dalam konteks “Fa ahyaakum”. Ketika kedua instrumen ini tidak diemban dan dipelihara sebagaimana mestinya, maka seolah manusia itu meng-‘create’ suatu “kematian antara” sebelum kematian kedua (mati sebelum mati). Al Ghazali mengatakan :”Semua manusia di dunia ini adalah bangkai, kecuali yang beribadah kepada Allah swt.” – bersesuaian dengan orientasi dan tujuan mulia penciptaan manusia (QS. Adz Dzaariyaat/51:56) – untuk hanya mengabdi kepada-Nya semata. Suasana kehidupan yang bukan pengabdian adalah realitas kehidupan semu, tidak efektif, tidak produktif, dan bahkan tidak bermakna sama sekali (meaningless) jika ditilik dari perspektif eksistensi manusia sebagai makhluk spiritual (al Insan) – bukan sekedar manusia pekerja (homo faber) atau yang hanya sibuk mengelola kepentingan material – ekonomi (homo ludens).

Untuk memulihkan kehidupan mereka yang mengalami kematian antara itu, maka Allah swt. senantiasa mengimbaunya agar memperbaharui sikap dan sesegera mungkin kembali menerima kebenaran Ilahi yang disampaikan melalui Rasulullah saw. Olehnya itu, dalam QS. Anfaal/8 :24, manusia diperintahkan untuk segera merespons secara positif dan proaktif “ajakan” Allah dan Rasul-Nya kepada “sesuatu yang menghidupkan” mereka – yakni menerima dan melaksanakan kebenaran Ilahi tanpa reserve. Jika mengabaikannya, bukan hanya akan memperpanjang masa kematian antara, akan tetapi juga secara otomatis menabung kelalaian – yang karena itu akan mengalami masalah ketika Hari Berkumpul (Yaum al Hasyr) – bagian dari Hari Kemudian (al akhirat), episode kehidupan kedua.

Jika pengabaian ini berlanjut , maka akan terjadi bencana sistemik (fitnah) yang akan menimpa manusia dalam kehidupannya – sebuah indikasi adzab yang ditimpakan oleh Allah swt. atas mereka yang melupakan dan meninggalkan kebenaran Ilahi. Bahkan dampaknya akan dirasakan oleh semua elemen masyarakat, termasuk orang – orang yang tidak terlibat berbuat zhalim sekalipun – karena melakukan pembiaran atas kezhaliman tersebut (QS. Al-Anfaal/8:25). Namun, bila kebenaran Ilahi itu diterima dengan sepenuh hati dan dilaksanakan secara konsisten, maka mereka mendapatkan keberuntungan ( al Muflihuwn) dengan predikat Al Muttaqin (orang bertaqwa) – karena menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup (QS. Al Baqarah/2: 2-5). Kemudian, perhatian Ilahi ditunjukkan bukan hanya dengan keterbebasan mereka dari adzab, melainkan juga akan mendapatkan berkah kehidupan yang berlimpah ruah dari segenap penjuru alam semesta. (Korelasi dengan QS.07:96 – seperti yang dikutip terdahulu).

Perusakan Lingkungan Hidup

Adapun realitas perusakan lingkungan hidup menurut Al Qur’an, disebabkan oleh (1) kesalahan Ideologi (QS.Al Baqarah/2: 11-12) – yang dilakukan oleh orang Munafiq dengan merancang spekulasi sistematis dalam mempermainkan informasi kebenaran Ilahi ( Al Qur’an). Juga Karena kekafiran dan kefasikan, yakni menentang dan menghindari kebenaran Al Qur’an dengan membelokkan orientasi ilmu pengetahuan – khususnya yang diserap dari fakta dan fenomena alam semesta dengan segenap keteraturan sistemiknya (QS.02:26-27). Bahkan dengan terang – terangan mengabaikan seluruh fakta kebenaran dan membenamkan argumentasi logis – QS.Al-Baqarah/2 :6-7, (2) penguasaan aset ekonomi yang berlebih (QS. Al Qashash/28: 77) – stereotip Qarun di zaman Nabi Musa as., dan (3) Keserakahan, kreativitas tak terkendali (QS. Ar Ruum/30 :41) sebagai dampak dari sikap mengutamakankan kepentingan diri & kelompok

Atau dengan pendekatan paradigmatik, informasi perusakan lingkungan hidup yang disebutkan dalam Al Qur’an itu ternyata merupakan konsekuensi kesalahan filosofis yang dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Kesalahan Epistemologis (QS. Al Baqarah/2 :11-12)

a. Ideologi Hipokrit (munafik) – Cacat Teologis

b. Mengabaikan legitimasi kebenaran Allah swt.

c. Melakukan pembenaran (justifikasi) atas diri sendiri

d. Pemaksaan konseptual & manipulasi fakta

e. Kontra-pencerahan, tanpa Kesadaran Ilahiyah (devine awarenessless).

2. Kesalahan Ontologis (QS. Al Qashash/28 :77)

a. Merasa serba cukup karena menguasai mayoritas aset & kapital

b. Seenaknya mengeksploitasi alam & LH

3. Kesalahan Aksiologis (QS. Ar Ruum/30 :41)

a. Dominasi kreatvitas tanpa memperhatikann keseimbangan sumber daya alam

b. Aplikasi iptek tanpa peduli LH

c. Pemanfaatan produk teknologi & pembangunan untuk memenuhi sebesar – besarnya kebutuhan manusia

d. Cenderung serakah, pleasure oriented & hedonis (kesenangan pribadi dan kelompok – terutama oleh mereka yang memegang kendali kekuasaan).

Jangankan perusakan lingkungan hidup, Tuhan saja dilawan oleh orang – orang yang tidak sudi menerima kebenaran yang sesungguhnya. Langkah – langkah orang munafik dilakukan dengan strategi “premanisme ideologi” : menentang kebenaran (tindak lanjut nuansa kekafiran) dan mempermainkan premis – premis argumentasi dalam deduksi silogisme – ketika merespon fakta dan fenomena kebenaran. Dengan kekafirannya, mereka menutup segala pintu kejujuran untuk mengakui kebenaran yang semestinya (QS.Al Baqarah/2 :6-7), serta dengan kemunafikannya, mereka mempermainkan signifikansi kebenaran dengan spekulasi “bunglonisme” yang terpolarisasi ke dalam subyektivisme. Tidak heran, yang nyata – nyata perusakan sistematis pun diklaimnya sebagai “pembangunan” berkelanjutan (QS.Al Baqarah/2 :10).

Karena secara ideologis mereka tidak mengakui keberadaan dan otoritas Tuhan ( Allah swt. al Khaliq, Rabbul alamiyn) dan juga tidak pernah rela menerima kebenaran Al Qur’an, maka seolah merekalah pemilik otoritas mutlak atas prosesi keberadaan alam semesta – sebuah kesalahan epistemologis. Hal ini merupakan manifestasi mindset yang sama sekali tidak tersentuh sedikitpun dengan kesadaran pencerahan Ilahiyah (devine awarelessness). Bahkan, dengan kekafiran dan kefasikannya sekaligus, mereka membelokkan orientasi hujjah produk analisis dan fakta ilmiah sesuai kepentingan mereka, termasuk memperlebar ruang gerak mereka untuk melakukan perusakan lingkungan hidup (QS. Al Baqarah/ 2:26-27).

Setelah mereka “merasa sukses” mencaplok otoritas Allah swt. maka kemudian secara otomatis menegasikan keberadaan-Nya – sebuah kesalahan ontologis dalam paradigma kehidupan manusia eksploitatif yang berbalut arogansi tak ketulungan. Kesan ketiadaan Tuhan dalam benak dan pola pikir mereka menjadi pilar ekstra yang menguatkan sikapnya sebagai pengelola sumberdaya alam dengan sebebas – bebasnya untuk memenuhi kebutuhan hedonisme yang dijustifikasi dengan segenap teori pembangunan dan strategi penyejahteraan masyarakat.

Fenomena ini berlanjut hingga terjadinya kesalahan aksiologis – yakni segenap sumber daya alam dan manusia dikelola sedemkian rupa sebgai realisasi sikap serakah demi memuaskan diri dan kelompok manusia tertentu ( terutama yang memiliki pressure power dan segenap kalangan yang memiliki linkage dengannya). Kebijakan dibuat untuk menguatkan pelaksanaannya, sehingga kepentingan kelompok tadi membonceng pada dan dikemas sebagai bagian tak terpisahkan dari kebutuhan bangsa dan negara yang secara terus – menerus harus melaksanakan pembangunan di segala sektor kehidupan.

Dalam strategi pengembangan korporasi berbasis industri, aplikasi teknologi untuk memacu produktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja diperkuat oleh institusi riset yang sedemikian komplit dengan agenda penelitian yang selalu tersedia. Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) yang terjadi saat ini tidak lain adalah salah satu implikasi praktek industrialisasi yang dilakukan oleh 20% penduduk bumi, yakni kalangan industrialis yang mengembangkan usaha mereka di Eropa Barat.

Hal yang penting diperhatikan bahwa sebelum pelaksanaan CoP (Conference of Party) ke-13 tentang perubahan iklim di Bali pada tahun 2007, UNFCCC (United Nation Framework Conference on Climate Change) – Badan PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) yang menangani masalah perubahan iklim – telah menugaskan 2000 ilmuwan – yang meliputi kompetensi dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, untuk melakukan penelitian tentang penyebab kerusakan lingkungan hidup. Yang menarik, ternyata kesimpulan hasil penelitian yang dilaporkan oleh koordinator ilmuwan tersebut yakni bahwa penyebab kerusakan lingkungan adalah semata – mata karena ulah keserakahan manusia[i], persis penegasan Allah swt. dalam Al Qur’an, surah Ar Ruum ayat 41 (QS. Ar Ruum/30 :41) – yang sudah dikutip terdahulu.

Bukankah ini suatu affirmasi bahwa perusakan lingkungan yang terjadi sedemikian luar biasa sebagai akibat dari penolakan manusia atas kebenaran Ilahi – yang dalam kemasan paradigma keilmuan teridentifikasi sebagai kesalahan epistemologis, kesalahan ontologis dan kesalahan aksiologis sekaligus. Dengan penolakan atas kebenaran Ilahi itu, maka mereka kemudian terjebak dalam kesalahan berkeyakinan, kesalahan berpikir dan juga kesalahan bertindak dalam segala bidang kehidupan. Sekali lagi, bisa dimaklumi, bahwa mereka mendeklarasikan merk “pembangunan” atas fakta “perusakan” yang telah dirancangnya secara sistemik dan direalisasikannya secara sistematis. Pemaksaan ala premanisme ideologi yang dilakukannya itu, tidak hanya berdampak pada perusakan lingkungan hidup, tetapi bahkan lebih awal telah menghancurkan struktur berpikir alamiah yang secara internal berlangsung pada dirinya.

Betapa tidak, bahwa dorongan alamiah sistem kerja dan fungsionalitas organ tubuh manusia selalu konsisten pada fitrah kebenaran Ilahi, sehingga melibatkannya dalam penyalahgunaan analisis atas fakta – fakta kebenaran dengan sendirinya merupakan sebuah bentuk pemaksaan bernuansa “self destruction process” (proses perusakan potensi diri) yang sangat riskan mengancam stabilitas kejiwaan pelakunya. Dengan demikian, penting digarisbawahi bahwa menolak dan mengabaikan kebenaran Ilahi bukan hanya akan menggiring seseorang untuk menjadi operator aktif perusakan lingkungan hidup, tetapi juga akan mengakumulasi kelainan psikologis (psychological syndrome) yang berpotensi sebagai penyebab stress dan depresi di kemudian hari. Sistem birokrasi yang demikian selalu mencari kesempatan untuk “wisata” atas nama perumusan kebijakan (termasuk sejumlah acara kunjungan dan studi banding yang tidak akuntabel), karena para inisiator dan eksekutornya mengidap rasa tidak percaya diri (self unconfidence) untuk melakukan evaluasi obyektif manajerial atas program yang dicanangkannya.


[i] Materi sambutan Kepala Deputy VI Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam membuka Pelatihan Eco-Pesantren di Sukabumi, 18 Maret 2010.


Pemeliharaan Lingkungan Hidup

Dalam perspektif kemanusiaan – khususnya ekologi , memelihara lingkungan berarti merawat dan menjaga ekosistem dan ranah lingkungan (environment) pada umumnya. Sementara, dalam perspektif Al Qur’an, keterpeliharan lingkungan akan terwujud dengan sendirinya manakala manusia menyikapi alam semesta sesuai aturan Ilahi – yang sesungguhnya berisi panduan yang teradaptasi dengan karakter alamiah lingkungan hidup. Untuk itu, manusia dianjurkan untuk menerima dan menyerap kebenaran Ilahi, menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup dengan mewujudkan konsistensi sepenuh hati atasnya dalam mengemban fungsi – fungsi sosial ataupun dalam memenuhi kebutuhan personal – individual. Dalam kaitan ini, Tuhan merekomendasikan kehidupan taqwa bagi manusia (al Muttaqien), dan memberikan “warning” agar tidak terjebak dalam kekafiran, kemunafikan dan kefasikan.

Bertaqwa kepada Allah swt. , antara lain berarti, menerima Al Qur’an sebagai pedoman hidup (QS. Al Baqarah/2 :02) dan memanfaatkan sumberdaya di bumi untuk kesejahteraan dengan mememberikan ruang bagi tumbuh kembangnya sifat – sifat bawaan yang telah Allah berikan padanya, yang tiada lain adalah modal bagi nuansa lingkungan yang asri dan lestari (QS. Al Baqarah/2 :21-22). Topografi yang kondusif bagi aktivitas sosial – ekonomi kemanusiaan, daur hidrologi, fenomena dan kontribusi cuaca (meteorology), fotosintesis, produksi pertanian dan perkebunan adalah sebuah matarantai yang semestinya meneguhkan pola pikir Ilahiyah – yang dalam hal ini makin proaktif menyerap kebenaran Al Qur’an.

Seluruh sumberdaya bumi diciptakan oleh Allah swt. untuk kemuliaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup manusia (QS. Al Baqarah/2 :29) dengan syarat bahwa manusia menyadari kemuliaan dirinya sendiri – yang ditandai dengan kesiapan menyerap aturan Ilahi – al Haq secara konsisten. Dalam mengelola kehidupan di muka bumi, bukan hanya manusia diimbau agar tidak melakukan perusakan (malpraktek), melainkan lebih dari itu, juga sangat dianjurkan untuk senantiasa memprioritaskan keluhuran tanpa pamrih (ihsan) dalam menyikapi realitas alam semesta (QS. Al Baqarah/28 :77) dalam rangka memakmurkannya secara bertanggungjawab (QS. Huud/11 :61).

Salah satu contoh kasus pemanfaatan sumberdaya bumi yang efektif dan proporsional dapat dilihat dalam QS. Al Baqarah/2 :22 – yakni, antara lain, perilaku arif untuk memelihara keberlangsungan fotosintetsis (pemasakan makanan yang berlangsung pada daun hijau tumbuhan). Bahannya berasal dari tanah, yang terlarut dalam air (H2O) - naik ke daun melalui pembuluh kayu (xylem) setelah diisap oleh akar. Gas karbon dioksida (CO2) diisap oleh daun tumbuhan dengan mulut daun (stomata) dalam aktivitas respirasi (pernapasan). Reaksi antara kedua zat tersebut dipicu oleh sinar matahari yang mengandung energi foton (cahaya) yang kemudian menghasilkan karbohidrat – amilum (C6H12O6) dan Oksigen (O2).

Dalam peristiwa fotosintesis, tumbuhan (pohon hijau) mengubah karbon dioksida dan air (yang mengadung larutan mineral) menjadi amilum dan oksigen. Karbon dioksida gas kotor yang dikeluarkan manusia – dan makhluk hidup lain – melalui pernapasan sedangkan oksigen adalah zat asam (bersih) yang dihirup manusia – sebagai kebutuhan mutlak – dalam peristiwa yang sama. Selain membahayakan pernapasan, karbon dioksida pun merupakan kontributor terbesar di antara 6(enam) Gas Rumah Kaca (GRK) – Green House Gases (GHG) yang menyebabkan pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) yang kini dampaknya terasa sangat dramatis. Adapun amilum (karbohidrat) merupakan bahan makanan tumbuhan yang akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh tumbuhan melalui pembuluh balik (floem) secra proporsional sesuai kadar kebutuhannya. Sisanya akan diakumulir menjadi buah atau umbi yang akan dikonsumsi oleh manusia dan atau hewan (yang juga untuk manusia).

Dengan demikian sangat jelas bahwa pohon hijau yang diciptakan oleh Allah swt. benar – benar sebgai sarana dan fasilitas untuk menyejahterakan manusia, dengan catatan manusia harus bertanggungjawab bagi kelangsungan aktivitas fotosintesis – yang berarti merawat dan memelihara kelangsungan hidup pohon hijau. Secara khsusus dapat dikatakan bahwa manakala manusia memusnahkan pohon hijau berarti ia mengancam kelangsungan hidup dirinya sendiri ( Pasokan oksigen untuk sel – sel otak manusia tidak boleh tertunda lebih dari 4 menit, subhanallah). Karena menebang pohon hijau secara tidak bertanggungjawab sama halnya dengan tindakan bunuh diri pelan – pelan, maka dalam Islam merupakan perbuatan yang haram untuk dilakukan. Dari sini dipahami filosofi hidup hijau (Green Life Philosophy) – yang justru sangat dianjurkan oleh Al Qur’an.[i]

Hutan sebagai konsentrasi pepohonan hijau merupakan zona signifikan yang merealisasikan fungsi fotosintesis di atas, selain pohon hijau yang tumbuh dan tersebar di berbagai lokasi. Dengan akumulasi karbon dioksida yang diserap dan oksigen yang dihasilkannya, hutan (tropis) disebut paru – paru dunia dan taman hijau (miniatur hutan) disebut paru – paru kota. Di samping menurunkan temperatur udara dan menawarkan kesejukan yang asri, pohon hijau pun berfungsi sebagai reservoir air dengan akar – akarnya yang kokoh kuat. Air hujan yang terserap ke tanah disimpannya dan kemudian dikeluarkan secara proporsional pada musim kemarau. Pohon hijau merupakan instrumen kendali iklim dan cuaca yang telah Allah swt. ciptakan untuk kesejahteraan hidup manusia di bumi. Illegal logging (pembalakan liar) dengan menyalah gunakan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) merupakan salah satu penyebab bencana banjir dan tanah longsor di negeri ini, termasuk di Wasior – Papua beberapa bulan yang lalu. Perusakan hutan secara langsung , penggundulan hutan tanpa reboisasi dan perubahan (alih) fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau industri , tempat permukiman, dll, merupakan bentuk deforestasi (peniadaan hutan) yang berkontribusi langsung pada climate change dan global warming.

Pusat penelitian kehutanan internasional – Center for International Forestry Research (CIFOR) – yang berkantor di Bogor, mencatat angka perusakan hutan Indonesia pada tahun 2005, seperti yang tersaji pada tabel 1. Kini, bahkan Indonesia merupakan negara perusak hutan dengan kecepatan tertinggi di dunia. Pada tahun 2008, Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia (PERWAKU) melansir bahwa setiap detik hutan Indonesia hilang seluas 0,72 hektar. Semuanya itu tiada lain adalah akibat ulah tangan – tangan manusia sendiri.

Oleh karena itu, maka pada CoP – 13 yang lalu, salah satu program utama yang disepakati oleh UNFCCC adalah upaya pengurangan atas emisi GRK yang cenderung bertambah drastis karena adanya pengurangan atau perusakan hutan yang berdampak langsung pada penurunan kualitas (degradasi) lingkungan. Namanya REDD (Reduction Emission from Degradation and Deforestation). Dalam konteks ini, manusia ditimpa sejumlah bencana setelah melalaikan pemeliharaan sumberdaya bumi, khususnya pepohonan hijau, yang ssungguhnya adalah karunia Ilahi. “..Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan ?” – “Fabiayyi aalaai rabbikuma tukadzdzibaan ??” – 31 kali diulangi dalam Al Qur’an – Surah Ar Rahman (55), juga senada dengan QS. Al A’Raf/7 :96 (Nuansa adzab dirasakan manusia sebagai akibat dusta pengabaiannya atas ketentuan standar yang layak bagi kehidupan).


[i] Abdul Hafid Paronda, “Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Perspektif islam”, Forum Pelatihan Eco-Pesantren Provinsi Banten, KNLH RI, 08 Februari 2010.


Tabel 1. Angka Perusakan Hutan di Indonesia


Dalam merespons realitas dan fenomena tersebut, pemerintah Indonesia – melalui Kementerian Kehutanan mencanangkan penghijauan dengan gerakan penanaman satu juta pohon, yang sekarang bahkan ditingkatkan menjadi gerakan penanaman satu milyar pohon. Terlebih lagi Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), yang pelaksanaan program penghijauan dan pelestarian lingkungannya tidak pernah berhenti.

Program pelestarian lingkungan hidup dengan perspektif Islam, baik melalui pendekatan teoritik maupun praktis juga dilaksanakan oleh KNLH Republik Indonesia. Ujung tombaknya adalah asisten deputi 3 (komunikasi masyarakat perkotaan) sebagai bagian dari Deputi VI – yang membidangi Edukasi dan Komunikasi Lingkungan, dengan nama ikon Eco-Pesantren. Program ini dimaksudkan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup dengan mengikuti panduan Al Qur’an dan Hadits shahih, baik dengan penguatan kajian – kajian keislaman maupun berupa praktek langsung – dengan menggerakkan pondok pesantren sebagai pelaku utama (antara lain: penghijauan – penanaman pohon, pengelolaan sampah, perawatan dan pemeliharaan sumber mata air, dll).

Dalam konteks ini, pesantren diharapkan mengemban fungsi sebagai Pusat Gerakan Pelestarian Lingkungan Hidup (Conservation Movement Center – CMC) di satu pihak, sementara pada pihak yang lain ummat Islam diharapkan memobilisasi gerakan tersebut secara personal – individual, maupun pada tataran kolektivitas – sosial. Sebagai CMC, pesantren diharapkan membentuk dan membina unit – unit CMC dalam format koordinasi klaster (cluster development), sedangkan para peminat konservasi dengan perspektif Islam mengawal embrio IMC (Indonesian Moslem for Conservation), sekaligus sebagai respons atas deklarasi internasional dan sekaligus kongres pertama MACCA (Muslim Association for Climate Change Action) – yang dihadiri oleh 14 negara Islam, pada tanggal 9-10 April 2010 lalu di Bogor (penulis adalah salah satu di antara dua orang peserta yang mewakili KNLH RI).

MACCA sebagai organisasi payung internasional bagi ummat Islam untuk berkontribusi dalam upaya pengendalian perubahan iklim dunia, dibentuk sebagai salah satu rekomendasi M7YAP (The Muslim Seven Year Action Plan) : 2010 – 2017. Beberapa rencana programnya dapat dilihat sebagai berikut:[i]

1. Create a Wakf in 1 year in order to implement the Climate Change plan;

2. Establish Islamic labels for different products. This would be an Islamic environmental labelling system with strict authenticity standards;

3. Work towards a ‘Green Hajj’ with the Saudi Minister of the Hajj. Aim to have the Hajj free of plastic bottles after two years and introduce environmentally friendly initiatives over the next five to ten years to transform the Hajj into a recognised environmentally-friendly pilgrimage.

4. The vision is that pilgrims on the Hajj will take back an understanding of care of creation as an act of faithfulness;

5. Pilot the construction of a ‘green mosque’ to showcase best practice in heating, light, design etc. Plan to use this as a model for building other mosques worldwide;

6. Develop two to three Muslim cities as ‘green cities’ which can act as a role model for greening other Islamic cities. Select 10 cities in the Muslim world to be greened after the success of the first phase;

7. Focus on education on the environment:

a. Make more material on the conservation of the environment available to places of Islamic learning, focusing on the training of imams and in schools;

b. Develop guidebooks for teachers in primary, middle and secondary schools over the next three years;

c. Develop educational materials for non formal education in the next three years.

d. Prepare guidelines and train imams on environmental conservation and climate change issues

e. Sponsor 10 post graduate students to work on Islam and climate change over the next five years.

f. Establish a chair for professorship in dealing with climate change

8. Develop a best practice environment guide for businesses;

9. Apply environmental principles in the publication of the Quran. Work towards printing a ‘green Quran’ on paper that comes from sustainable wood supplies.;

10. Re-introduce Islamic rituals from an environmental perspective. Use the Hajj season to distribute these ideas and the Friday Khotbas;

11. Establish a special TV channel for Islam and the environment to be broadcast in different languages;

12. Develop an international prize for research related to environmental conservation.

Dalam konteks Orientasi “Islamic Green Life”, hal yang terpenting adalah kesiapan untuk menerima Al Qur’an sebagai pedoman hidup – sehingga menjadi acuan utama dalam merancang segenap program pembangunan yang ramah lingkungan (green development) dan mewujudkan inisiatif kehidupan sehari – hari yang betul – betul peduli pada kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, manusia akan menegakkan kehidupan yang bermartabat dan sekaligus mengurangi porsi bencana yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia sendiri.



[i] The Muslim Seven Year Action Plan on Climate Change : 2010 – 2017 – Summary