Thursday, April 14, 2011

HIJRAH : Translokasi Pusat Manajemen Risalah

Pemaknaan atas hijrah sangat sering diimprovisasi dengan semangat yang dominan pada sebuah tuntutan kebutuhan aktual. Misalnya, kita harus berhijrah dari keterbelakangan kepada kesungguhan untuk maju, dari kebodohan kepada melek pendidikan, dari kehidupan yang ‘gagap’ teknologi ke suasana yang akrab dengan aplikasi ICT (Information and Communication Technology : Teknologi Informasi dan Komunikasi, TIK) . Atau, bahkan yang lebih umum lagi adalah berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, mengubah perilaku maksiat menjadi aktivitas kesalehan, dll. Pernyataan yang cenderung definitif seperti ini tentu tidak salah, namun belum sepenuhnya benar.

Nuansa penyempitan makna (peyorasi) memang sangat susah dihindari ketika sebuah realitas diintroduksi dengan kekentalan pendekatan etimologis (makna bahasa). Apalagi untuk menjelaskan sebuah peristiwa historis, khususnya hijrah yang amat fundamental dan sekaligus monumental. Karena terdesak oleh tantangan kehidupan global, ada kekhawatiran jangan sampai nilai – nilai Islam yang diyakini demikian kuat tercerabut dalam konstruksi sosial kekinian. Konsekuensinya, kesegeraan mengaitkan makna hijrah dengan realitas aktual dalam pemaknaan seperti itu menjadi keniscayaan bagi mereka yang selalu ingin menunjukkan betapa Islam merupakan solusi dalam setiap etape kehidupan. Padahal, mereka telah melakukan sebuah pendangkalan makna karena kegagalannya mengaktualisasikan ajaran Islam yang sesungguhnya. Mereka seolah ingin menutupi hal itu dengan pemaksaan formal – verbalistik. Sebuah justifikasi sosio – antropologis yang minim substansi, mencabik – cabik holistikasi dan bahkan menutup mata atas universalitas makna hijrah itu sendiri.Dalam perjalanan sejarah dan da’wah Islam, hijrah dipahami sebagai berpindahnya markas perjuangan ummat dari Mekah ke Medinah. Sebuah alternatif ideologi politik yang sarat dengan pertimbangan aktual dengan visi yang signifikan. Jangankan pendekatan etimologis, pendekatan terminologi pun tidak cukup representatif mengetengahkan deskripsi maknawi tentang hijrah yang merupakan peristiwa sejarah yang agung itu. Seperangkat setting latarbelakang, pengggalian aspek sosial budaya dan kondisi geopolitik di sekitar Mekah saat itu merupakan bagian integral yang tidak bisa dieliminir. Dengan demikian, setiap generasi dan peminat sejarah kemanusiaan akan memahami kalau hijrah itu bukan migrasi, apalagi transmigrasi.

Kronologi Perjuangan Rasul

Bangunan keislaman dalam diri setiap ummat Islam selalu diawali denga fundasi aqidah, komitmen suci tentang ketuhanan Allah swt. yang merupakan sumber dari segala eksistensi, peran, fungsi dan penataan kehidupan semesta. Para Nabi dan Rasul dibangkitkan, diutus dan tampil mengemban tugas – tugas delegasional untuk memelihara dan terus – menerus meningkatkan kemuliaan kehidupan makhluq di jagat raya. Muhammad saw. adalah rasul pamungkas yang telah melakukan pembelajaran yang menyeluruh dan sistematik. Pengajaran ibadah praktis dan pencerahan akhlaq merupakan agenda lanjutan untuk meraih kepribadian Islami.

Namun, dalam ranah sosial kemasyarakatan yang melibatkan aneka ragam multi-komunitas, praktek keberislaman sebagai upaya pelayanan ummat dan penataan kehidupan yang lebih luas, harus dikelola sedemikian rupa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Manjemen perjuangan diterapkan di sini dan konsolidasi strategi da’wah otomatis menyertainya. Sejak diangkat menjadi rasul hingga meninggal dunia, Muhammad saw. mengelola kehidupan ummat sekitar 23 tahun, yang terbagi dalam Periode Mekah (13 tahun) dan Periode Madinah (10 tahun). Hijrah merupakan simpul konektor antara kedua periode tersebut, sehingga dapat dikatakan sebagai alternatif kesinambungan periode Mekah dan sekaligus basis bagi pengorganisasian kegiatan da’wah dalam Periode Madinah.Semua firman Allah swt. yang disampaikan kepada Muhammad saw. sebelum peristiwa hijrah dinamai kelompok ayat – ayat makkiyyah (sekalipun turunnya bukan persis di Mekah), sedangkan yang setelahnya disebut kelompok ayat – ayat madaniyyah ( sekalipun turunnya bukan persis di Medinah). Periode Mekah adalah masa penanaman aqidah dan penggemblengan iman(capacity building) bagi segenap pengikut Rasul, sementara periode Madinah adalah masa perjuangan holistik untuk menegakkan pilar – pilar ajaran Islam dalam kehidupan bernegara, termasuk jihad berupa perang bersenjata. Adalah fakta yang tak terbantah bahwa hijrah merupakan momentum sejarah yang sangat menentukan keberhasilan da’wah dan perjuangan Islam. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ajaran Islam sampai pada kehidupan kita dewasa ini hanya karena dilaksanakannya hijrah oleh Rasul ketika itu.Al Qur’an mengabadikan strategi da’wah dan perjuangan Rasulullah saw. dengan model Trilogi Iman, Hijrah dan Jihad (IHJ). Trilogi IHJ ini dapat ditemukan dalam Al Qur’an. Misalnya QS.02:218.






Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Alur bahasa yang sama juga terdapat pada 4(empat) ayat yang lain, yaitu: QS. 08:72,74-75 dan 09:20.

Pada masa awal Islam, beberapa sahabat menyambut da’wah Rasul yang kemudian terkenal dengan kualitas keimanannya. Ammar Bin Yasir,ra. adalah pengikut nabi yang rela menanggung risiko dengan penyiksaan atas keluarganya hingga Ibundanya (Summayah) meninggal dunia karenanya. Bilal Bin Rabah,ra. mengusung aqidah Islam dengan mengorbankan pekerjaannya sebagai karyawan di salah satu perusahaan perkebunan. Lebih dari itu, bahkan ia rela ditindih batu besar di padang pasir yang panas di bawah terik matahari yang sangat pans di siang bolong. Sebongkah keyakinan demikian kuat dan mengkristal, sekalipun dengan pengetahuan yang amat terbatas, sehingga setiap Bilal ditanya tentang alasan mengikuti agama Rasul, jawabannya hanya satu kata:”Ahad” – sifat Allahswt. Yang Maha Esa, Tuhan yang diyakininya sebagai Yang Maha Benar dengan segala firman-NYA.

Mush’ab Bin Umair, ra. adalah pemuda ganteng dengan penampilan parlente, yang selalu tampil rapih dan eksotis serta amat sayang dan hormat pada orangtuanya, terutama ibu kandungnya. Setelah memahami dan mengimani Islam dari Rasulullah saw., maka dia selalu mengajak orangtuanya agar segera bergabung dengan kafilah agama Allah itu. Namun, ternyata mereka tetap bersikukuh pada ajaran nenek moyang yang dianutnya. Maka kemudian, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, Mush’ab memutuskan berpisah dengan orangtuanya dengan konsekuensi segala kebutuhanya diembargo. Mush’ab pun rela berpakaian compang – camping dengan menanggung berbagai dampak psikologisnya.

Terlebih lagi Ali Bin Abi Thalib, yang bukan hanya dikenal dengan semangat muda yang berani dan perkasa, tetapi juga pelopor utama dalam memeluk ajaran Islam. Dialah laki – laki pertama yang menyatakan diri sebagai penganut agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw., termasuk mendahului 3 dari Khulafaur Rasyidiin, ketika usianya baru 12 tahun. Selain itu, ia dikenal dengan kecerdasannya yang sangat menonjol di antara para sahabat, sehingga Nabi mengatakan : “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu, maka ia harus mendatanginya melalui pintunya”.Pribadi – pribadi militan, imani dan cerdas seperti itulah yang mengawal da’wah Nabi di Mekah ketika itu. Mereka menyambut dengan nurani yang mencerahkan pola pikir dan mengendalikan tingkah laku. Mengembangkan kiprah keimanan dengan pandangan dunia (world view) profetik, yakni konsistensi pada aturan Ilahi dengan kepasrahan total kepada-Nya, seperti yang diwariskan oleh para nabi dan rasul. Mereka tidak bergeming sedikit pun dengan tawaran duniawi dan kepentingan kekuasaan. Mereka sangat terkendali dalam pusaran arus tahta, harta dan wanita, sehingga sangat susah untuk dijebak hanya dengan rekaya skandal yang beraroma kepentingan sesaat. Mereka mengimani rasul karena kebenaran ajarannya, bukan karena subjektivitas personalnya. Mereka mendatangi rasul bukan karena diiming – iming fasilitas tertentu dalam bingkai koalisi, justru menghadapkan diri mereka dengan kesiapan berkorban harta dan jiwa mereka sekalipun.



Mereka tidak pernah menyambut sabda rasul dengan spekulasi penghindaran (eskapisme), tetapi dengan ungkapan “sami’na wa’atha’na”. Sebuah ungkapan komitmen yang ditopang oleh konsistensi kesiapan menerima dan menghadapi segala bentuk konsekuensi kehidupan. Sosok yang demikian ini menjadi magnet konsolidasi perjuangan dan da’wah nabi, sehingga pertambahan kuantitas pengikut risalah secara langsung meningkatkan instabilitas sosial, kecemasan psikologis dan keterancaman ideologis kalangan kafir Quraisy di Jazirah Arab.



Rencana Pembunuhan Nabi

Sosok – sosok pilihan itu memang susah dihentikan geliat da’wah dan perjuangannya mengusung misi Islam. Lantaran mereka sangat mencintai rasul dengan risalah yang dibawanya, maka mereka pun patut menyaksikan indikasi kecintaan yang berkorelasi dengan pengorbanan. Dengan sadar dan cermat, logika pengorbanan mereka menyaksikan bahwa apa yang merka lakukan belum seberapa jika dibandingkan dengan pengorbanan rasul dalam memperjuangkan risalah kebenaran.

Masih di Mekah, bahkan sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi telah ditinggalkan oleh Khadijah al Kubra – isteri, pendamping dan sekaligus pendukung terkuat yang secara total menopang segenap program da’wah dan perjuangannya. Abu Thalib – paman dan sekaligus penjaga ring pertama keselamatan sosial kemanusiaanya pun telah meninggal dunia. Pada saat yang sama, bahkan kalangan kafir Quraisy mengembargo segenap kebutuhan ekonomi Muhammad saw. dan para pengikutnya. Namun, itu semua tidak mnyurutkan sedikit pun semangat Nabi mennjalankan perjuangan yang diamanatkan oleh Allah swt. Inilah sumber energi yang membangkitkan dinamika juang dalam dada para sahabat, sehingga mereka tak kenal mundur, apalagi menyerah. Segala potensi digerakkan, da’wah dikembangkan dan nilai – nilai mulia keislaman dimplementasikan dalam setiap sektor kehidupan.

Pada tahun ke-5 kenabian, hijrah pertama dilakukan ummat Islam dengan mendatangi Habasyah (Abessinia, Ethiopia). Bahkan ke tempat ini dilakukan sebanyak dua kali. Pertimbangannya semata – mata adalah untuk mengamankan ummat dari ancaman kafir Quraisy sambil tetap melaksankan program da’wah yang memenag harus dipelihara kesinambungannya. Bertepatan juga bahwa Najasy – raja Habasyah saat itu, seorang Nashrani yang masih konsisten pada ajaran kehanifan, sangat bersimpati pada ummat Islam yang sedang dizhalimi. Berikutnya, Tha’if adalah tempat kedua yang menjadi target hijrah. Sekalipun Nabi dan para sahabat dilempari batu, namun dengan semangat dan komitmen da’wah dan perjuangan Islam yang demikian kuat, maka sosialisasi syi’ar pun tetap dijalankan.

Kepemimpinan Nabi yang diiringi dengan konsolidasi dan mobilisasi perjuangan para sahabat membuat suasana Jazirah Arab kian terakomodasi menuju citra kehidupan tauhid. Nuansa ini tentu sangat tidak diharapkan orang – orang kafir, terutama yang berperan sebagai pemimpin suku dan kabilah. Sampai akhirnya mereka melakukan evaluasi aktual dengan melakukan pemantauan spionase intelijen. Hasil pemantauan kemudian dilaporkan dalam rapat strategis terbatas yang menyimpulkan bahwa demi mempertahankan ideologi kafir Quraisy, maka gerakan da’wah dan perjuangan Muhammad harus dihentikan.

Dalam kamus operasi intelijen militer, upaya mengeliminir pengaruh musuh yang direpresentasikan oleh figur personal, biasa diberlakukan skenario sandi 3B (Bui, Buang, Bunuh), yang berarti memenjarakan, mengusir atau menghabisi nyawanya sekalian (QS.08:30). Dua opsi pertama, yakni memenjara atau mengusir (membuang, mengasingkan) Muhammad ke luar wilayah Jazirah Arab sebenarnya bisa dilakukan. Namun mereka sangat sadar kalau keduanya tidak akan efektif, atau bahkan bisa menjadi bumerang. Argumentasinya sangat logis dan transparan.

Pertama, Muhammad menguasai psikologi komunikasi dan strategi pendekatan personal. Dalam penjara banyak anak ‘nakal’ dan ‘bandel’, yang sebenarnya adalah pemuda kreatif yang membangkang karena tidak bertemu dengan figur pembimbing yang arif dan kompeten. Kalau mereka bertemu dengan Muhammad pasti terjadi kaderisasi dan boleh jadi otomatis terprovokasi, yang dengan militansi dan kreativitasnya, Muhammad dan para pemuda narapidana itu akan melabrak gedung penjara dan melakukan kudeta tak berdarah. Karena itu, sangat berbhaya kalau Muhammad dipenjara.

Kedua, kalau Muhammad diusir, maka ia akan bertemu dengan massa yang lebih besar dalam wilayah ruang publik yang sangat terbuka di luar pusat pemerintahan. Dengan magnet interaksi dan komunikasi yang melekat padanya, Muhammad sangat mudah menarik perhatian khalayak melalui perlakuan psikologi komunikasi massa. Dalam waktu yang relatif singkat, pengikut Muhammad pasti kian bertambah, yang kemudian bisa bersepakat mengelola wilayah sendiri, memutuskan hubungan struktural dengan pemerintah pusat dan bahkan berpotensi mendirikan negara bagian. Makanya, niat untuk mengusir dan mengisolir Muhammad harus diurungkan. Lantas, untuk menghentikan gerakan da’wah dan perjuangan Muhammad, tidak ada cara lain yang paling tepat dan efektif, kecuali dengan “membunuhnya”. Memutuskan opsi ketiga dari skenario 3B, sebuah alternatif penuh kegetiran, namun harus ditempuh.

Informasi rencana pembunuhan atas diri nabi tersebar ke khalayak dan sampai ke telinga nabi. Bersama Ali dan Abu Bakar, Nabi melakukan pertemuan di rumahnya. Serta – merta rumah Nabi sudah dikepung oleh pasukan kafir Quraisy yang mewakili seluruh kabilah yang telah menghadiri rapat analisis laporan intelijen itu. Sementara rumahnya dalam suasana dipagar betis dengan komando siaga satu seperti itu, nabi memutuskan untuk meninggalkan Mekah menuju ke Madinah. Praktis, Nabi akan menghadapi salah satu di antara dua kondisi, yaitu lolos atau tertangkap, hidup atau mati terbunuh. Namun, nabi hanya membicarakan kemungkinan lolosnya untuk mengatur strategi dan taktik selanjutnya, sementara kematian tidak termasuk agenda penting dan urgen yang perlu beliau bahas.

Kalau Nabi lolos, dibutuhkan sebuah trik yang bisa membuat segenap anggota pasukan pagar betis tidak segera mengetahui kepergian Nabi. Makin besar delay time yang mereka alami tentu dampaknya makin aman bagi perajalanan Nabi. Untuk itu, harus ada orang yang menggantikan nabi di tempat tidurnya, begitu beliau meninggalkan rumah. “Siapa yang bersedia ?”, tanya Rasul. “Saya, Ya Rasulullah”, kata Ali Bin Abi Thalib, ra. Jawaban Ali yang menyambut pertanyaan Rasul itu ternyata merupakan kata kunci yang dijadikan starting point Nabi untuk bergegas melangkah dalam konteks hijrah.

Dengan izin Allah swt., ternyata Rasulullah saw berhasil menyelinap di antara pasukan pagar betis itu tanpa dideteksi sama sekali. Begitu terkesiap setelah tertidur hingga pagi hari, salah seorang dari mereka langsung merapat masuk dan menyaksikan kalau masih ada orang di tempat tidur Nabi. Orang tersebut mengendap – endap dengan langkah yang diperlambat sampai akhirnya mengetahui kalau yang berada di dalam tempat tidur itu adalah Ali. Pasukan itu pun segera berusaha menyusul Nabi. Di gurun pasir mereka merasa terbantu dengan mengikuti jejak kaki Nabi. Namun apa lacur, karena ternyata itu adalah jejak kaki arah mundur yang sengaja dibiarkan oleh Abdullah – salah seorang intel Nabi – setelah menghapus dan mengaburkan jejak kaki yang arah maju sesuai tujuan perjalanan hijrah Nabi. Ini adalah delay time kedua yang membuat pasukan tersebut makin ketinggalan untuk membuntuti Nabi.

Anggota pasukan itu belum juga putus asa hingga menghampiri mulut Gua Tsur – tempat Nabi dan Abu Bakar bersembunyi. Mereka mengendus keberadaan Nabi di dalam gua tersebut karena mendengar suara jeritan kecil dari dalam. Namun, dengan akal sehat yang mendasari penolakan salah seorang di antaranya, kemudian mereka kembali ragu. Betapa tidak, karena di mulut gua itu terdapat jejaring sarang laba – laba yang masih utuh. Itu pertanda bahwa mustahil ada orang yang telah masuk ke gua tersebut (padahal sarang laba – laba itu terbentuk segera setelah nabi masuk ke dalam gua, dengan izin Allah swt.). Akhirnya anggota pasukan itu pulang dan Nabi terhindar dari gangguan mereka. Nabi saw.kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah, sementara Ali Bin Thalib ra. menyusul satu minggu kemudian.

Kesiapan dan keikhlasan Ali untuk mengorbankan jiwa raganya karena kecintaan kepada Allah swt.( semata – mata hanya mengharapkan ridha-Nya), Rasulullah saw. dan risalahnya, menjadi asbabun nuzul ayat Al Qur’an, QS.02:207. , sebagai berikut :




“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Nilai Strategis Hijrah

Dengan mengamati fenomena sosial politik dan ideologi di Mekah pra-hijrah serta menganalisis dampak logis kesinambungannya, maka akan ditemukan sejumlah nuansa strategis dengan nilai pembelajaran yang amat tinggi untuk pengelolaan program da’wah dan perjuangan. Pertama, hijrah adalah pelembagaan komitmen pemihakan pada prinsip tauhid yang merupakan amanah universal dalam kehidupan manusia di muka bumi. Karena itu, hijrah menjadi alternatif ketika Muhammad saw. tidak lagi diberikan ruang sedikitpun untuk melaksanakan program da’wahnya di Mekah. Bukan karena takut mati – karena dalam islam, apalagi bagi Rasul, kematian adalah suatu keniscayaan pada saatnya. Akan tetapi, karena sebuah tuntutan untuk mengawal keberlanjutan da’wah, untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan mengimani, mengamalkan dan memperjuangkannya. Juga, bukan karena tidak punya nyali menghadapi musuh, melainkan karena pengikut nabi belum memenuhi sayarat untuk menggelar pertempuran (baik man power, maupun material power, keduanya masih sangat terbatas. Sementara, dalam hal mempertaruhkan nyawa, nabi terkenal sebagai pemimpin perang yang berani dan pernah mengomandoi sebagian besar pertempuran melawan orang kafir di zamannya).

Kedua, dengan melaksanakan hijrah, dengan sendirinya para sahabat dan pengikut nabi pada umumnya dituntut untuk memahami kawasan regional di luar Mekah. Selain sebagai tantangan pemetaan wilayah dan penguasaan informasi sektoral, para sahabat pun ditantang membangun jaringan pendukung yang memungkinkan dilakukannya perluasan target da’wah di kemudian hari. Pemantapan visi geopolitik , otomatis terjadi di sini. Apatah lagi bahwa ajaran tauhid harus diupayakan sosialisasinya kepada seluruh ummat manusia. Ketiga, dengan dilaksanakannya hijrah, maka akan segera ketahuan kategori dan kualifikasi sahabat dalam konteks urgensi penguatan orientasi perjuangan Islam. Dalam kaitan ini, seleksi dan pacuan motivasi kejuangan yang ditandai dengan indikasi pengorbanan dan kecintaan pada Rasulullah saw. dan risalahnya semakin transparan, sehingga evaluasi diri (muhasabah) sangat mudah dilakukan oleh setiap pihak dengan mengedepankan integritas dan keikhlasan.

Keempat, hijrah menjadi tantangan aktual bagi para sahabat untuk menunjukkan komitmen dan kompetensi serta mengembangkan kualitas personalnya, terutama ketika harus membantu nabi membangun struktur masyarakat Islam di Madinah. Tercatat dalam sejarah, antara lain, kecemerlangan Abdurrahman Bin ‘Auf membangun sistem perekonomian dan mengelola pasar potensial di Madinah dengan kontribusi langsung pada peningkatan volume perbendaharaan Negara secara signifikan. Juga kemudian, Salman Al Farisi, yang terkenal dengan disain palanogi – tata ruangnya, sebagai arsitektur Perang Khandaq, yang membantu pemenangan pasukan Islam melalu rancang bangun parit yang dibuatnya untuk mengamankan pertahanan ummat Islam dalam mengantisipasi serangan musuh.

Kelima, hijrah pun melahirkan suasana dan menawarkan media bagi terlaksananya sejumlah ajaran Islam yang telah diterima sebagai syariat dalam menjalani kehidupan keluarga dan sosial kemasyarakatan. Bagaimana membangun pribadi berkualitas berorientasi sosial, pola interaksi antara keluarga dan masyarakat, penataan kehidupan atas nama persudaraan (AnsharMuhajirin), perwujudan kepedulian, mobilisasi infak serta rintisan sistem pelayanan publik – termasuk dalam konteks keragaman, semuanya mendapatkan ruang setelah hijrah dilakukan oleh nabi. Penegakan pilar hukum dan keadilan, pengayoman sosial kemasyarakatan, penguatan daya juang dan konsolidasi manajemen pelayanan kerahmatan semesta, akan terakomodasi secara proporsional.

Keenam. Sekalipun pada kenyataannya hijrah merupakan sebuah translokasi atas manajemen risalah yang diusung oleh nabi sebagai amanah Ilahi, namun sama sekali tidak bisa disebut sebagai penghindaran dari tantangan perjuangan. Justru dalam kondisi yang masih sangat terbatas akan penguasaan atas seganap sumberdaya, hijrah merupakan operasi kontra – strategis yang dipermaklumkan di hadapan kafir Quraisy – yang sudah sangat siap dengan perlengkapan perangnya. Dengan kualitas intelektual dan spiritual yang sangat handal dalam balutan semangat juang berbasis kearifan, keikhlasan dan kematangan analisis, keputusan nabi berhijrah adalah sebuah “smart solution” pada tataran kontekstual gerakan ideologi yang sedang merawat kristalisasi dukungan potensial.

Sebagai sumur pencerahan dan mata air kecemerlangan, segala gerak, sepak terjang dan aktualisasi agenda risalah Rasul pasti sangat sarat dengan nilai, hikmah dan muatan pembelajaran. Karena itu, enam butir di atas hanyalah kuantifikasi sebuah penghampiran yang coba disentuhkan pada realitas gerakan da’wah dan perjuangan beliau, khususnya di seputar konteks hijrah. Khazanah derivatif (turunan) akan ditemukan lebih banyak lagi, manakala proses identifikasi diperdalam pada aspek yang lebih luas, termasuk dengan melihat korelasinya terhadap perjalanan waktu dan konteks kualifikasi kemanusiaan dalam rentang antropologi dan sosiologi historis.

Visi Da’wah dan Perjuangan

Sebagai jembatan yang menghubungkan dua periode perjuangan Nabi, sudah barang tentu hijrah merupakan bagian dari mata rantai kesinambungan perjuangan dan da’wah. Berkenaan dengan ini, hijrah adalah tonggak (milestone) yang secara hirarkial berfungsi sebagai pilar pendukung bagi aktualisasi agenda nabi selanjutnya. Dan sebagai mainstream dari sebuah megaproyek keummatan, hijrah pasti memiliki formulasi manajerial yang melibatkan berbagai faktor demi tercapainya kualifikasi martabat insani dalam konstelasi kerahmatan semesta.

Selain penegasan Ilahi dengan model “Trilogi IHJ” yang disebut terdahulu, ternyata hijrah itu sudah dirancang dalam sebuah strategi geopolitik dan diplomasi lintas kultural. Ketika da’wah dan perjuangan Islam masih berpusat dan diorganisir di Mekah, nabi telah memprakarsai “Baiat al Aqabah” (janji suci untuk setia dengan iman dan perjuangan Islam, di bukit Aqabah) sebanyak dua kali. Yang pertama diikuti 12 orang, sedangkan yang kedua pesertanya 70 orang, semuanya berasal dari Madinah (Bani Aus dan Khasraj) – yang nantinya melakukan konsolidasi untuk penyambutan Nabi dan para sahabat yang berhijrah. Komunitas inilah kemudian yang terkenal dengan julukan kaum Anshar (penolong), karena telah membantu saudara – sudaranya yang berhijrah (Muhajirin) dari Mekah.

Dengan mengacu pada fakta historis tersebut, perlu dipertegas bahwa hijrah merupakan agenda utama dalam strategi perjuangan visioner. Untuk itu, Nabi tidak hanya mengajak penduduk Mekah untuk memeluk Islam dengan menapaki pencerahan individual, tetapi lebih jauh, bahkan beliau merancang sebuah mekanisme “special recruitment” yang akan mengembangkan sayap perjuangan di wilayah “buffer zone” (daerah penyangga), terutama ketika kondisi pada pusat kendali perjuangan kurang stabil, apalagi terancam. Makin jelas bahwa ternyata Nabi tidak hanya berperan sebagai Imam di waktu shalat dan panglima di medan perang, sufi di waktu malam dan pendekar di siang hari, tapi juga ahli strategi perjuangan yang sangat visioner. Iman yang dipahaminya tidak hanya dikemas dalam mekanisme ritual subyektif atau instruksi verbalistik, melainkan sampai mengemuka dalam strategi ideologi lintas kawasan, yang mengakomodir potensi riil keummatan sebagai sumbu penyulut api perjuangan.

Ketika komitmen keimanan telah mencapai kristalisasinya yang signifikan, antara lain, ditandai dengan bersenyawanya tujuan hidup yang bersangkutan dengan Kemuliaan Ilahi, maka tantangan perlawanan yang kondisional harus disikapi dengan langkah hijrah. Perlu dilakukan penataan manajerial atas segenap sumber daya perjuangan yang pada gilirannya harus mampu mendeklarasikan barisan jihad (perjuangan, termasuk yang bersenjata) untuk memelihara dan mengamankan kesinambungan kemuliaan dan martabat kehidupan insani.

Jihad dalam hal ini tentu bukan terorisme yang terkadang disebarkan oleh zionisme internasional sebagai kolonialisasi terminlogis atas istilah hijrah yang amat mulia dalam Al Qur’anul Karim. Perang (angkat senjata) sebagai salah satu bentuk jihad pun hanya bisa dilaksanakan manakala seluruh bentuk komunikasi dan diplomasi preventif sudah dilakukan dan pada saat yang sama ummat Islam diposisikan sebagai target ofensif musuh. Tulisan ini tidak berprentensi mengulas terminilogi jihad. Hanya saja, penyebutannya di sini dimaksudkan sebagai penegasan bahwa hijrah tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari sebuah strategi kolosal perjuangan risalah : Iman, Hijrah dan Jihad.

Bahwa hijrah bermakna meninggalkan kejahatan dan beralih kepada kemaslahatan, pasti tidak bisa dianulir (terutama dalam suasana damai, ummat Islam tidak terancam musuh). Namun, yang demikian itu hanyalah salah satu percikan makna periferal dari konstruksi hijrah yang sangat sentral dan primer dalam aktualisasi keimanan seorang muslim, terutama dalam kerangka ideologi dan pandangan hidup (way of life). Dan salah satu tumor aqidah dalam penyakit ideologi yang menyerang ummat Islam dewasa ini adalah kecenderungan hilangnya sikap percaya diri untuk memahami hijrah dengan makna substansial yang sentral dan primer itu. Bahkan, sangat mudah bermetaforsis menjadi ketakutan kolosal yang dipagari dengan simbol otoritas keilmuan dengan hujjah tafsir skriptural yang melengkapinya. Stigma ini tentu harus dieliminir dengan hijrah pola pikir dan persepsi, hijrah metodologi analisis sejarah dan hijrah orientasi elaboratif agar memiliki kesiapan signifikan untuk menyelami dan menyerap nuansa dan pesan suci (holy message) “Hijraturrasul” yang sesungguhnya (yang berbeda dengan konteks hijrah ke Habasyah dan Tha’if, sebelumnya).

Dalam Al Qur’an, Surat An Nisa’(04):100, Allah swt. bahkan melegitimasi aktivitas hijrah sebagai agenda inheren bagi setiap insan yang dengan sungguh – sungguh ingin mempersembahkan kehidupannya sebagai pengabdian kepada-Nya, dengan motivasi dan sekaligus orientasi sbb:






“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam ayat tersebut, hijrah dinyatakan dalam 2(dua) konteks. Pertama, hijrah merupakan gerak individual dengan perhelatan bernuansa spiritual, yang memetakan ketaatan atas hukum Allah swt. dalam segala aspek kehidupan. Kedua, hijrah sebagai perpindahan dalam ruang dan waktu , dilakukan oleh setiap hamba dari suatu tempat asal menuju tempat tertentu sebagai target, yang mensyaratkan perjuangan dengan segenap pengorbanan yang harus mengiringinya. Beranjak dari rumah individual menuju Allah dan Rasul-Nya. Rumah individual berupa bangunan fisik, basis keyakinan, format logika, nuansa persepsi dan visi subyektif harus dibenahi sedemikian rupa sehingga memenuhi kualifikasi spiritual pencerahan insani yang memungkinkan terserapnya cahaya Ilahiyah. Pada saat yang sama, melalui ayat itu Allah swt. menegaskan alur dan orientasi hijrah yang substansial. Yakni, dinamika pengabdian di jalan Ilahi di mana nuansa aktivitas insaniyah merupakan transformasi spiritual irfani. Sebuah pergelutan teosofi yang mengorganisir seluruh potensi individual kehambaan sebagai fasilitas, instrumen dan sumberdaya yang menopang proses pencerahan dan perjalanan spiritual menuju kepada Allah swt. sebagai tujuan hidup.

Komitmen dan nuansa hijrah yang demikian akan membentuk mentalitas dan personalitas seorang hamba yang akan selalu eksis dalam kesiapan melaksanakan amanah Ilahi kapan pun dan di mana pun. Sebuah kualifikasi karakter dengan ketangguhan pribadi yang secara total dipasrahkan ke haribaan Ilahi Rabbil Izzati.

Penulis : Abdul Hafid Paronda
Buletin Al-Fatah Vol.1 No.2 Desember 2009